Beranda | Artikel
Apa Enaknya Jadi Bujangan ?
Jumat, 13 Agustus 2010

APA ENAKNYA JADI BUJANGAN ?

Oleh
Ustadz Zainal Abidin Lc

DOSAKAH BILA AKU MEMBUJANG?
Membujang membuat hidup tidak nyaman, tidak pasti, rentan dengan fitnah, sering tertimpa penyakit pusing. Setiap malam hari, waktu habis bukan untuk tahajjud tetapi untuk melamun. Badan tidak terawat dengan baik, tidur pun sering bermimpi aneh-aneh, sedangkan rumah dan tempat tidur menjadi berantakan. Namun banyak para pemuda dan pemudi yang menunda pernikahan, karena menganggap hal ini sangat mengerikan. Pernikahan menjadi pengekang kebebasan, dan menjadikan langkah dibatasi; belum lagi memikirkan urusan keluarga, istri, anak, mertua, saudara ipar, dan sebagainya. Maka, jalan kebebasanlah yang dijadikan pilihan.

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu yang bercerita bahwa ada tiga orang atau lebih datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan maksud menanyakan perihal ibadah beliau. Ketika diberitahukan bagaimana ibadah beliau, maka mereka berkata; “Dibanding dengan beliau, maka dimanakah posisi kita, sedang beliau telah diberi ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Salah seorang di antara mereka berkata; “Aku akan senantiasa melakukan shalat malam satu malam penuh dan tidak tidur.” Yang lain berkata; “Aku akan senantiasa berpuasa sepanjang waktu dan tidak berbuka.” Yang lain berkata; “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Mendengar perkataan mereka, maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka dan bersabda: “Kalian telah berbicara begini dan begini, ketahuilah, demi Allah Azza wa Jalla, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi wanita; barang-siapa membenci Sunnahku, maka bukan termasuk golonganku.”[1]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghimbau umatnya agar segera berumah tangga, karena hidup membujang bukan termasuk Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bahkan merupakan gaya hidup sufistik yang tidak realistis, hanya karena alasan untuk memelihara kualitas ibadah dan menjaga kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla. Bila pemuda membujang karena alasan memelihara kualitas ibadah dan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla tidak dibenarkan, maka bagaimana lagi dengan pemuda yang tidak menikah dan lebih memilih hidup membujang hanya karena alasan belajar, karier atau takut menanggung resiko pernikahan? Sungguh sangat disayangkan.

CILIK-CILIK DADI NGANTEN (KECIL-KECIL JADI PENGANTIN)
Sampai saat ini, kawin muda atau pernikahan dini, masih dianggap sebagai pemicu utama gagalnya berumah tangga dan timbulnya perceraian. Bahkan kebanyakan orang selalu berkomentar miring ketika mendapati anak muda remaja melakukan akad nikah dengan berseloroh “Cilik-cilik kok dadi nganten”. Benarkah seburuk itu akibatnya? Sebagai seorang Muslim sebaiknya tidak memutuskan sesuatu, baik menerima atau menolak, kecuali setelah melalui pengkajian secara menyeluruh dan merenungkan secara mendalam terhadap dalil dan petunjuk agama, sehingga membuahkan penilaian adil dan bijak. Nah! Bagaimana tinjauan agama tentang masalah ini ?

Secara umum, agama Islam sangat menganjurkan umatnya untuk segera menikah. Karena di samping sunnah para Nabi, nikah merupakan langkah yang paling efektif untuk menundukkan pandangan dan mengendalikan hawa nafsu. Apalagi ketika seorang remaja, baik putra maupun putri khawatir terhempas ke dalam fitnah dan perbuatan terkutuk, akibat lingkungan sekitarnya sangat tidak nyaman untuk hidup membujang. Maka Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Maka nikahilah wanita-wanita yang (lain) yang kalian senangi: dua, tiga atau empat; kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang wanita saja atau budakbudak wanita yang kalian miliki, yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [an-Nisâ’/4:3]

Batasan usia untuk menikah sangat relatif, tergantung kondisi dan kesiapan mental masing-masing calon mempelai. Namun secara umum, semakin cepat menikah semakin bagus dan aman dari berbagai fitnah, serta terpuji di hadapan Allah Azza wa Jalla. Apalagi dengan menikah, hidup menjadi berkecukupan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya:

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Azza wa Jalla akan memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [an-Nûr/24:32]

‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu bercerita: “Kami pernah bepergian bersama Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pada saat itu kami masih muda dan belum mempunyai kemampuan apapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian mempunyai kemampuan untuk menikah maka menikahlah, karena hal itu lebih menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan. Namun barangsiapa yang tidak mampu, maka ia harus berpuasa, karena puasa itu adalah penyembuhnya[2].

Benar apa yang ditegaskan Rasulullâh Shallallahu ‘laihi wa sallam dalam sabdanya: “Ada tiga golongan yang pasti ditolong oleh Allah Azza wa Jalla, yaitu budak mukâtab (seorang budak yang ingin memerdekakan diri dengan cara bekerja keras untuk melunasi hutangnya), orang yang menikah demi untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat dan patra peju di jalan Allah.”[3]

LIKA-LIKU MENIKAH SAMBIL KULIAH
Bagi orang shâlih, suami laksana baju untuk sang isteri, yang siap menjadi penutup dan penghangatnya. Sebaliknya, istri ibarat tempat singgah untuk meneduhkan pikiran dan perasaan yang Allah k siapkan, agar merasa nyaman di dalamnya. Maka bagi mahasiswa, rasa lelah dan letih sirna, gundah dan penat hilang, urat tegang kembali kendor, karena jenuh dengan pekerjaan dan rutinitas kampus hilang setelah bertemu dengan sang isteri. Pikiran sumpek menjadi plong, tugas kuliah mudah diselesaikan, tugas kampus gampang dihadapi dan kebosanan belajar bisa diobati. Ada kesusahan dapat langsung dibagi, ada kesulitan dapat didiskusikan dan dicari jalan penyelesaian.

Tapi, bagi orang yang jauh dari hidayah dan tidak pandai mengambil hikmah serta mengatur waktunya, pernikahan dapat menjadi hal yang sebaliknya. Karena berumah tangga; hati menjadi gelisah, perasaan pun gundah. Di lain pihak pusing memikirkan persiapan ujian, di lain sisi, anak rewel karena sakit. Saat mau membayar kuliah, mendadak istri atau anak sakit dan butuh biaya. Haruslah menjadi keyakinan atas firman Allah Azza wa Jalla berikut:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah Azza wa jalla, niscaya Allah Azza wa Jalla akan mencukupkan (keperluan)nya. [ath-Thalaq/65:2-3]

Bagi seorang pemuda, pernikahan justru mencerahkan fikiran, menjadi bukti kejantanan, melatih tanggung jawab, mengasah mental, dan menguji nyali dan keberanian, serta memperkuat status sosial mereka di masyarakat. Bahkan semakin bertambah seru bila keduanya saling menolong dalam mencari ilmu, memikul segala beban hidup dan memelihara hubungan dengan Allah k , dengan menegakkan berbagai macam ibadah. Maka jangan bimbang dan ragu-ragu untuk melangkahkan kaki ke pelaminan, optimislah kalian mendapatkan kebahagiaan di sana. Bayangan kesusahan, hanyalah dimiliki orangorang pesimis dan penakut, yang gentar menghadapi tantangan.

KEUTAMAAN KAWIN MUDA
Pernikahan adalah bibit unggul dan cikal bakal tumbuhnya keteraturan hidup dalam masyarakat. Karena pernikahan adalah aturan yang bersifat alami bagi mahluk hidup penghuni alam semesta. Ia adalah sunnatullâh untuk membuat kehidupan semakin bernilai, teratur dan terhormat. Pernikahan merupakan hubungan batin yang hakiki, cinta sejati penuh kejujuran, hubungan kehidupan yang penuh ruh kebersamaan dan kasih sayang untuk membentuk keluarga yang tulus dan sekaligus memakmurkan alam semesta.

Pernikahan merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla yang menunjukkan kesempurnaan rububiyah. Allah Azza wa Jalla lah yang paling berhak disembah. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu kasih sayang.” [ar-Rûm/30:21]

Pernikahan dipercaya sebagai sarana menjalin romantika hidup yang bersih, melestari-kan keturunan yang aman, mendidik generasi umat yang bermanfaat, Juga merupakan cara tepat untuk menyempurnakan agama, menyalurkan syahwat yang sehat, merajut belaian cinta-kasih, menjaga diri dari perkara yang diharamkan sesuai fitrah. serta untuk menjernihkan rohani. Pernikahan juga dapat menjadi faktor utama untuk mendapatkan ketenangan batin dan kebahagian hidup. Pasangan pernikahan dapat memperoleh kesempurnaan ibadah, kesuksesan mencari ilmu, keberhasilan berkarya, kematangan kepribadian dan selamat di dunia dan akherat..

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang telah dikaruniai isteri yang shâlihah, maka Allah k telah m embantu separuh agamanya, maka hendaklah bertakwa kepada Allah k dalam separuh agama yang lainnya.” [4]

Pernikahan merupakan kerangka dasar bangunan masyarakat Muslim dan tiang bagi bangunan hidup bermasyarakat dan bernegara. Maka sangatlah pantas bila seluruh anggota masyarakat menyambut gembira adanya pernikahan dengan ucapan selamat dan doa keberkahan yang diliputi kegembiraan dan suka ria. Tetapi harus diingat, haruslah tetap di atas koridor dan etika Islam, agar proses pembuatan bangunan itu tetap terarah dan tegak dengan benar, sehingga bisa terwujud masyarakat modern yang Islami.

Kasih sayang dan ketentraman yang tumbuh dalam hati suami isteri merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla. Dengan bantuan isteri, seorang suami mampu mengatasi berbagai masalah dan kesulitan yang dihadapi. Istri akan menjadi penghibur saat suami dirundung duka dan derita. Ia akan mampu membantu suami dalam beramal shâlih, bermasyarakat dan menolong orang-orang lemah. Begitu juga suami; ia akan menjadi pelindung dan pembina bagi isterinya dengan memberikan hakhak isteri secara sempurna.

Telah ada contoh baik pada diri Ummul Mukminîn, Khadîjah Radhiyallahu ‘anha, ketika pertama kali turun wahyu kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khadijah Radhiyallahu ‘anha menghiburnya ketika beliau berkata kepadanya: “Sungguh aku khawatir terhadap diriku sendiri”. Maka Khadijah Radhiyallahu ‘anha berkata: “Sekali-kali tidak, demi Allah Azza wa Jalla ! Sungguh Allah Azza wa Jalla tidak akan membuatmu terhina selamanya, karena engkau orang yang sangat senang menyambung silaturrahim, suka menolong, senang membantu orang dalam kesulitan, menghormati tamu dan membela pihak yang benar”[5]

Terkadang seorang istri menjadi penentu terhadap kebesaran dan keberhasilan suami, baik di dalam maupun di luar rumah. Maka luruskan niat ketika hendak menikah dan ikutilah bimbingan agama dalam berumah tangga. Niscaya semua harapan menjadi kenyataan, InsyaAllâh.

MOTIVASI UTAMA KAWIN MUDA
Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang menikah, baik berkaitan dengan kepentingan pribadi ataupun keinginan untuk mendapatkan keturunan. Dan motivasi ini akan mempengaruhi karakternya atau keluarganya, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaik-baik wanita adalah yang bisa mengendarai onta, (dan) sebaik-baik wanita Quraisy, adalah yang sangat sayang kepada anaknya sejak (anaknya) kecil, dan sangat mentaati sang suami dan amanah.”[6]

Di antara faktor-faktor motivasi seorang laki-laki untuk menikah adalah:

  1. Karena memandang latar belakang wanita dan keluarganya yang taat beragama, berakhlak mulia, berhati baik dan bertabiat lurus.
  2. Karena keluarga pihak wanita dipandang terhormat, suka berkorban, dermawan, senang berbuat baik dan suka membantu orang lain.
  3. Karena keluarga pihak wanita terkenal dengan sikap kepahlawanannya, keteguhan hati dan berani menanggung segala resiko.
  4. Karena kecantikan, kekayaan dan harta benda yang dimiliki calon istri.
  5. Untuk memberikan kebahagiaan serta ketenangan kepada orang tua. Yaitu karena harapan berlanjutnya keturunan dengan lahirnya cucu, juga bahagia karena anaknya tumbuh dewasa serta berani mengambil tanggung jawab yang besar.
  6. Untuk membuktikan bahwa dirinya adalah lelaki sejati yang siap bertanggung jawab dan berani menghadapi segala tantangan.
  7. Termasuk motivasi seorang laki-laki dan wanita ingin segera menikah, karena keduanya takut terjatuh dalam fitnah dan perbuatan terkutuk.
  8. Termasuk motivasi seorang laki-laki dan wanita ingin segera menikah, agar usia produktif tersalurkan secara maksimal.

Yang perlu menjadi perhatian, bahwa kecantikan hati wanita beragama cukup menjadi pengganti kecantikan wajah. Dengan sifat iffah (menjaga kehormatan) dia merasa puas menjadi pendamping suami. Hatinya selalu tergantung pada suami serta tidak condong pada lelaki lain.

Nasab dan kehormatan seorang wanita mampu menjadi penyaring sifat sombong, angkuh dan bangga diri. Sehingga dia akan pandai menjaga diri dari perbuatan keji, memelihara hati dan menundukkan pandangan serta menjaga kemaluan dari perbuatan yang diharamkan. Dia selalu menjaga lisan dan kecantikannya hanya untuk suami, tidak yang lain.

Harta kekayaan wanita bisa diganti dengan sikap amanah, kecerdikan dan pandai memelihara harta benda suami. Maka ia pun tidak boros dalam urusan makanan dan minuman, serta tidak menuntut lebih dari kebutuhannya. Maka, pilihlah wanita yang ber-agama. Karena bila tidak, maka tangan akan kotor dan hidup akan merugi dan hancur.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Shahîh diriwayatkan Bukhâri dalam Kitâbun Nikâh, Bab at-Targhîb Fin Nikâh (5063) dan Muslim dalam Kitâbun Nikâh, bab Istihbâbun Nikâh (1401), serta Imam al-Baihaqi dalam al-Kubra, 7/ 77
[2] Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîh-nya (1905), Imam Muslim dalam Shahîh-nya (3384), Abu Dâud dalam Sunannya (2046), Imam Tirmidzi dalam Sunannya (1081), Imam Nasâ’i dalam Sunannya (2239) dan Imam Ibnu Mâjah dalam Sunannya (1845).
[3] Hasan diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (1655), Imam Nasâ’i dalam Sunannya (3120), Imam Ibnu Mâjah dalam Sunannya (2518) dan Imam al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (7/ 78). Dihasankan Syaikh al-AlBâni dalam Shahîhul Jâmi’ (3050).
[4] Shahîh, diriwayatkan Imam al-Hâkim dalam al-Mustadrak (2681).
[5] Shahîh Bukhâri, 1/ 3 dan ar-Rahîqul Makhtûm, Mubarak Fûry, Hl. 63
[6] Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîh-nya


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2787-apa-enaknya-jadi-bujangan.html